Motor, Moda Antara Yang Tak Boleh Menjadi Takdir Kota
Oleh Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI)
DEPOK IKKELA.COM (4/11/2025) K ; TRANSPORTASI
Kita hidup di negeri dengan 120 juta sepeda motor, dan setiap tahun bertambah jutaan lagi. Di banyak kota, sepeda motor telah menjadi lambang efisiensi dan kebebasan mobilitas. Ia bisa menembus kemacetan, menjangkau gang sempit, dan mengantar dari pintu ke pintu. Namun di balik kenyamanan itu, ada paradoks besar: sepeda motor adalah moda antara, bukan tujuan akhir peradaban transportasi
Dari Mobilitas Pribadi ke Transportasi Umum
Arah pembangunan transportasi berkelanjutan seharusnya mengalihkan mobilitas dari kendaraan pribadi menuju angkutan umum massal. Negara-negara yang berhasil keluar dari kemacetan dan polusi selalu menempuh jalur serupa: memperkuat sistem publik, bukan memperbanyak kendaraan pribadi.
Sayangnya, Indonesia justru bergerak ke arah sebaliknya. Motor yang semula solusi darurat kini menjadi ketergantungan massal. Kota-kota kita dipenuhi lautan kendaraan kecil yang cepat tapi tidak efisien. Ruang jalan berubah menjadi arena kompetisi, bukan produktivitas.
Risiko yang Terlupakan
Lebih dari 75 persen korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia adalah pengendara motor. Efisiensi yang kita puja sering kali dibayar dengan keselamatan. Secara fisik, sepeda motor tidak memiliki perlindungan struktural; secara sosial, pengemudi—terutama mitra ojek daring—hidup di bawah tekanan algoritma dan insentif waktu yang menuntut kecepatan. Semakin cepat, semakin untung; tetapi semakin cepat pula risikonya.
Setiap perjalanan singkat yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau angkutan umum kini digantikan oleh perjalanan bermesin. Akibatnya, emisi, kebisingan, dan kepadatan meningkat di hampir setiap sudut kota.
Motor dan Kemiskinan Mobilitas
Kajian MTI di Kalimantan Timur menunjukkan, rumah tangga miskin kota menghabiskan hingga 50 persen pendapatan bulanan untuk transportasi, sebagian besar untuk cicilan dan operasional sepeda motor. Motor bukan tanda produktivitas, melainkan bukti kegagalan sistem transportasi publik menyediakan pilihan yang layak. Ketika warga miskin harus membeli kendaraan pribadi agar bisa bekerja, transportasi telah berubah dari hak menjadi beban.
Rencana Isi Perpres Ojek Daring
Pemerintah tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Layanan Berbasis Platform, yang juga mengatur penggunaan sepeda motor. Pokok-pokok kebijakan yang sedang dibahas meliputi (a) penetapan tarif dasar dan tarif per kilometer agar pendapatan mitra lebih adil dan transparan, (b) pembatasan potongan aplikator maksimal 20% dari penghasilan kotor, (c) kewajiban pendaftaran mitra ke BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, terlepas dari status kerja formal, (d) transparansi algoritma: pembagian order, sistem penalti, dan penonaktifan akun harus terbuka.
Masa transisi dan pembinaan bagi aplikator untuk menyesuaikan sistem mereka. Dan yang paling penting, pengaturan fungsi sepeda motor, di mana pemerintah mulai mempertimbangkan pembatasan motor untuk angkutan barang dan logistik mikro, bukan untuk angkutan orang di kota besar.
Masukan Kebijakan dari MTI
MTI menilai arah kebijakan ini positif tetapi perlu diperkuat secara konseptual dan hukum agar implementasinya tidak menimbulkan beban ekonomi dan ketidakpastian hukum baru.
1. Status Kerja dan Perlindungan Sosial
Pemerintah memang berusaha mem- bypass perdebatan klasik status “pekerja atau mitra” dengan memberi perlindungan minimum. Pendekatan ini sejalan dengan tren global, seperti EU Platform Work Directive (2024) yang menekankan transparansi algoritma dan pembalikan beban pembuktian status kerja.
Namun di Indonesia, dasar hukumnya harus tetap jelas. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS sudah membuka skema BPU (Bukan Penerima Upah) bagi pekerja mandiri. Karena itu, Perpres tidak perlu “memaksakan” status pekerja formal bagi pengemudi ojol, tetapi harus memastikan mereka terlindungi melalui program BPU dengan desain iuran harian yang sesuai karakter pendapatan fluktuatif.
2. Beban Iuran dan Potongan Aplikator
MTI menilai, iuran jaminan sosial adalah biaya tambahan, bukan pengganti potongan 20% oleh aplikator. Jika tidak dirancang hati-hati, akan terjadi pass-through cost ke driver dan penumpang.
Pemerintah dapat meniru kebijakan Singapura, yang mulai 1 Januari 2025 mewajibkan pekerja platform ikut CPF (Central Provident Fund) dengan skema cost-sharing bertahap antara platform dan pengemudi selama tiga tahun. Indonesia perlu rancangan serupa: bertahap, berbagi beban, dan diawasi.
3. Kepastian Hukum dan Delegasi Aturan
Perpres tidak boleh menetapkan status hukum baru tanpa dasar delegasi yang jelas di Undang-Undang. Ia hanya boleh mengatur benefit minimum dan tata kelola platform, bukan menafsir ulang hubungan kerja. Ini penting untuk menghindari potensi uji materiil di Mahkamah Agung.
4. Penegakan dan Transparansi Algoritma
MTI menekankan pentingnya aturan anti-evasion. Definisikan dengan jelas basis potongan 20% (apakah dari gross booking atau setelah potongan biaya lain). Larang biaya tambahan terselubung yang menggerus pendapatan pengemudi.
Terapkan audit algoritmik ringan untuk memastikan sistem alokasi order dan deactivation bersifat transparan dan adil—sejalan dengan praktik di Eropa.
5. Koordinasi Lintas Kementerian
Kebijakan ini tidak bisa berdiri sendiri. Kementerian Perhubungan harus mengatur tarif dan keselamatan; Kementerian Tenaga Kerja mengelola status kerja dan K3; Kementerian Keuangan menyiapkan insentif fiskal; BPJS merancang mekanisme iuran harian; dan Kementerian Digital dan Informasi mengawasi transparansi algoritma. Tanpa koordinasi lintas kementerian, kebijakan ini rentan disalahartikan dan sulit ditegakkan.
6. Pembatasan Fungsi Ojek Daring untuk Barang
MTI memberi masukan tegas, pemerintah sebaiknya mengarahkan fungsi ojek daring (online) hanya untuk angkutan barang dan logistik mikro, bukan penumpang. Langkah ini akan:
Kemdian meningkatkan keselamatan lalu lintas, menjaga efisiensi ruang jalan di perkotaan dan memberi nilai tambah ekonomi karena motor berkontribusi pada rantai pasok logistik kota.
Transisi menuju kebijakan ini harus dilakukan bertahap dalam 3–5 tahun, sambil memperkuat transportasi umum massal agar masyarakat tetap memiliki pilihan mobilitas yang layak.
Motor Bukan Cermin Negara Maju
Negara-negara yang dulu padat motor, seperti Jepang, Korea, dan Tiongkok telah berhasil menurunkan ketergantungan setelah membangun sistem kereta dan bus massal. Hasilnya bukan hanya mobilitas lancar, tetapi juga kota yang lebih manusiawi, udara lebih bersih, dan produktivitas meningkat.
Motor hanyalah moda transisi, bukan simbol kemajuan. Negara maju bukan yang memiliki motor terbanyak, tetapi yang warganya paling sedikit perlu motor untuk hidup produktif.
Menegakkan Arah Peradaban Mobilitas
Arah kebijakan transportasi Indonesia harus kembali ke prinsip dasar: membangun angkutan umum yang andal, terintegrasi, dan bermartabat. Ojek daring sebaiknya diarahkan ke sektor logistik perkotaan, bukan menggantikan fungsi transportasi umum.
Kenyamanan sesaat tidak sebanding dengan biaya sosial jangka panjang. Peradaban mobilitas tidak dibangun dari mesin kecil yang berlari sendiri, melainkan dari sistem yang membuat semua orang bergerak bersama—lebih aman, hemat, dan berkeadilan.