Melanjutkan KA Cepat Sampai Surabaya Suatu Kewajiban

0 11

Jakarta ikkela.com (5/11/2025) OPINI 

Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) kembali menjadi bahan perbincangan hangat. Padahal, mengulik dan memperdebatkan ulang kebijakan yang sudah berjalan dan sudah terbukti nyata hasilnya adalah langkah yang kontra-produktif. Lebih dari itu, kebiasaan mencari-cari kesalahan pemerintahan sebelumnya demi membangun citra positif pemerintah yang sedang berkuasa justru menciptakan preseden buruk dalam sistem pemerintahan kita.

Fenomena semacam ini tidak hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga di pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Padahal, kebijakan besar seperti Kereta Cepat Indonesia–China (KCIC) merupakan keputusan strategi politik yang diambil berdasarkan situasi, data, dan proyeksi pada masa itu. Oleh karena itu, tugas pemerintah berikutnya bukanlah mencari kesalahan, melainkan memastikan kelangsungan dan peningkatan manfaat dari kebijakan tersebut.

Rencana Induk Sudah Ada Sejak Lama

Perlu ditegaskan, pembangunan kereta cepat bukanlah ide yang tiba-tiba atau “ujug-ujug.” Dalam Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (RIPNAS), proyek kereta cepat telah tercantum sejak lama dan didukung oleh berbagai kajian teknis yang melibatkan para pakar transportasi.

Artinya, pembangunan KCIC merupakan implementasi nyata dari rencana jangka panjang pemerintah untuk memperkuat konektivitas antarwilayah. Oleh karena itu, melanjutkan proyek ini hingga Surabaya bukan sekedar pilihan, melainkan kewajiban strategi agar proyek ini mencapai skala ekonomi yang optimal.

Jika hanya berhenti di Bandung, dengan jarak sekitar 160 km, KCIC belum akan mencapai titik efisiensi ekonominya. Sejak awal, Jakarta–Bandung dirancang sebagai tahap awal dari proyek besar yang menghubungkan Jakarta–Surabaya, bahkan bisa diperpanjang hingga Denpasar, Bali.

Mengapa Bandung Jadi Tahap Awal

Pemilihan rute Jakarta–Bandung tentu bukan keputusan sembarangan. Jakarta dan kawasan aglomerasi Jabodetabek memiliki penduduk sekitar 30 juta jiwa, sementara aglomerasi Bandung Raya berpenduduk sekitar 10 juta jiwa. Wilayah kedua ini membentuk dua kutub aktivitas ekonomi yang menghasilkan arus mobilitas tinggi dan potensi penumpang besar.

Tahap awal ini sekaligus menjadi laboratorium nasional untuk pembelajaran teknologi dan model pembiayaan kereta cepat di Indonesia. Dengan keberhasilan operasional KCIC, Indonesia kini memiliki pengalaman berharga yang akan sangat berguna untuk proyek-proyek kereta cepat berikutnya.

Tak Perlu Takut “Mematikan” Transportasi Lain

Kekhawatiran bahwa kereta cepat Jakarta–Surabaya akan “mematikan” maskapai Garuda Indonesia, bandara, atau jalan tol adalah pemandangan yang berlebihan.

Pangsa pasar kereta cepat hanya akan menggantikan sebagian kecil penumpang rute Jakarta–Surabaya. Padahal, Garuda Indonesia dan bandara Soekarno-Hatta serta Juanda melayani ratusan rute domestik dan internasional. Begitu juga jalan tol — yang lebih dikhususkan untuk angkutan logistik — tidak akan kehilangan fungsi strategisnya.

Sebaliknya, keberadaan kereta cepat justru memperkuat jaringan transportasi nasional dengan menyediakan moda alternatif yang efisien, aman, dan berkelanjutan.

Masalah Utang: Pisahkan Biaya Prasarana dan Sarana

Perdebatan soal utang KCIC sebaiknya dilihat dengan kepala dingin. Utang besar pada proyek infrastruktur publik bukan hal yang luar biasa. Yang penting, pemerintah harus memisahkan antara biaya infrastruktur dan biaya sarana.

Untuk proyek transportasi umum seperti kereta cepat, biaya prasarana (rel, terowongan, jembatan, stasiun, lahan) seharusnya menjadi tanggungan pemerintah dan pembiayaan melalui APBN. Sementara itu, konsorsium atau operator kereta cepat cukup menanggung biaya sarana dan operasional yang dapat ditutup dari pendapatan tarif dan non-tarif seperti iklan dan kerja sama komersial lainnya.

Skema seperti ini sudah lazim di berbagai negara maju, dan bisa diterapkan untuk pembangunan lanjutan di Surabaya agar beban utang konsorsium menjadi lebih ringan dan terukur.

Dorong Kebijakan Push and Pull_ untuk Meningkatkan Permintaan

Agar proyek KCIC berkelanjutan secara finansial, pemerintah perlu mendorong tingkat keterisian (_load factor_) minimal 70%. Caranya adalah dengan kebijakan _Push and Pull_ — yaitu menekan penggunaan kendaraan pribadi dan mendorong penggunaan transportasi publik, khususnya kereta cepat.

Eropa sudah menerapkan aturan bahwa penerbangan jarak pendek (di bawah 2 jam) diarahkan untuk menggunakan kereta cepat. Prinsip serupa bisa diterapkan di Indonesia, terutama untuk rute antar kota di Pulau Jawa.

Karena jika dilihat dari aspek efisiensi dan aksesibilitas, kereta cepat jauh lebih unggul dibandingkan pesawat — lebih aman, lebih efisien waktu, dan lebih mudah dijangkau karena stasiun bisa dibangun di tengah kota.

Nilai Strategis Bangsa

Lebih dari sekadar transportasi, teknologi Kereta Cepat membawa nilai kebanggaan nasional. Proyek ini mempercepat transfer teknologi, membuka peluang industri perkeretaapian nasional, dan mengangkat harga diri bangsa di hadapan dunia.

Dalam jangka panjang, Indonesia bahkan berpotensi membangun sendiri kereta cepat antarnegara, seperti di Pulau Kalimantan. Setelah proyek Ibu Kota Negara (IKN) “Nusantara” selesai. Saat itu, kereta cepat buatan putra-putri Indonesia akan menjadi simbol kemandirian dan kemajuan bangsa, yang akan melayani tiga negara Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Saatnya Berhenti Berdebat, Mari Melangkah ke Timur

Sudah tiba saatnya KCIC Jakarta–Bandung dihentikan. Energi bangsa ini seharusnya diarahkan untuk mengawal dan mengkritisi secara konstruktif rencana pemerintah — melalui Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur — untuk melanjutkan pembangunan kereta cepat ke Surabaya dan bahkan ke Denpasar, Bali.

Langkah ini bukan hanya soal konektivitas, tapi juga tentang membangun masa depan transportasi modern Indonesia yang efisien, berdaulat, dan berkelanjutan.

Sesuatu yang berharga dan bernilai tinggi memang mahal, namun sebagai negara besar dengan sumber daya alam yang berlimpah dan semangat maju, Indonesia pasti mampu membayarnya.

Bogor, 3 November 2025

Dr. H. Edi Nursalam pemerhati perkeretaapian transportasi

Leave A Reply

Your email address will not be published.