Sekolah Tinggi Penulis

Oleh: Ismail Alif (Maink) Part One 
IKKELA.COM 21 OKTOBER 2025/CERITA/OPINI
Sebagai anak Jaksel yang belakangan trent di media sosial, ada atmosfir baru yang saya temui saat menjajakan kaki di bangku kuliah yang relatif murah dibandingkan biaya kuliah di perguruan tinggi swasta di Jakarta pada masanya.
Lebih dari itu, tak jarang sebagian mahasiswa bisa mulur dari tagihan uang kuliah dengan mengandalkan jurus berbagai dalil atau kreatif merekayasa Simu saat hendak ujian semester.
Mungkin saja gambaran gedung tua yang berada di pinggir jalan yang temaram di kala malam itu bisa jadi alasannya. Di depannya melintasi sebuah sungai berkerikik lembut yang juga digunakan siswa untuk latihan PMR.
Ada satu jembatan yang menghubungkan jalan masuk ke gerbang kampus.
Jembatan yang selalu ramai dipenuhi siswa yang bergerombol saat menunggu bus.Tak jarang melintasi satu wajah ganteng atau kemayu yang saling dilirik satu sama lain dengan wajah merona atau malu-malu, bahkan bisa juga cemburu.
Jembatan itu dipenuhi berbagai puisi kenangan yang melekat jauh di benak para siswa. Membentuk memori yang sulit dicerna dalam kata-kata, frase dan diksi bahasa sekalipun.
Persis di depan sungai itu melintasi jalur rel besi yang melewati kereta api dengan berbagai penumpang yang penuh jejalan di dalamnya. Bahkan tak jarang sampai duduk di atas corong seolah-olah menjadikan mosaik tersendiri yang terpatri dalam pandangan.
Seringnya suara roda kereta melintas sambil memekik-pekik memekakan telingga ditingkahi lonceng gerbang kereta saat menutup jalan. Suara itu seolah ingin meinndroktinasi pikiran setiap insan di kampus yang kemudian menjelma menjadi nuansa yang sulit hilang dalam kenangan.
Dan jembatan selalu dipenuhi cerita manis yang ditorehkan ke dalam satu puisi atau bisa jadi ke dalam sepucuk surat yang diam-diam dilayangkan ke pujaan hati yang ditaksir diam-diam.
Seperti biasanya pelajar saling bergerombol saat bercengkrama di atasnya, sambil sesekali melirik wajah kemayu yang lewat melintas ditingkahi angin yang sayup berhembus.
Akibatnya tak jarang bus yang merapat ke pinggir kampus sudah pergi jauh karena sedari lama tadi sambil meninggalkan suara kernet yang sengak terdengar: “Pasar Minggu, Pasar Minggu… tarrrikk…”.
Lebih lanjut jauh ke dalam, kita akan membahas berbagai perilaku siswa yang slengean dan juga bising saat bercengkrama di taman yang dinaungi pepohonan yang berdaun rindang.
Sebagian lainnya duduk-duduk sambil ngobrol di bangku beton yang berjejer di sepanjang kelas sambil melihat wajah dan penampilan berbagai jenis, raut dan lagak mahasiswa di kampus.
Hanya tak ada tempat ngobrol yang nyaman untuk saling baku-dapa, melahap lontong atau soto mie sambil menyeruput segelas kopi selain di warung Si Koen yang menjadi tempat favorit saat itu.
Tak jarang melayang aroma mariyuana atau suara botol vodka atau drygin saat dibuka, dituangkan dan diteguk. Setelah itu hanya gurau dan kelakar yang memenuhi sisi ruang kampus yang sering mereka selewengkan namanya menjadi sekolah tinggi pelawak itu.
Belakangan muncul kantin. Padahal sebelumnya, kampus menyediakan makan siang gratis bersama. Artinya dari rektor, dekan dan mahasiswa rame-rame menyantap hidangan makan siang bersama. Mungkin tradisi makan siang gratis semacam ini hanya di kampus ini saja yang pernah ada.
Selain kantin ada berapa tempat favorit lainnya seperti warung pak Roji dan mak di sebelah dinding pagar kampus.
Hanya bila ingin sedikit dianggap elite, bisa memilih nongkrong di sate pak De depan kampus atau memilih kudapan di kantin biar bisa termasuk kalangan borjuis.
Sementara kaum proletarnya lebih senang bergerombol di atas tribun, bertahan di depan kantin sambil menonton berapa siswa bermain keranjang atau menendang bola plastik.
Tidak jarang mereka menyoraki pertunjukan insan yang berjalan di sepanjang koridor kampus atau saling menyuiti rekannya satu sama lain dengan bahasa isyarat: “kirim…” atau “becak yuk, becak”.
Hanya sebagian orang yang bisa menguraikan kodenya. Sebagian lainnya hanya bisa menyilangkan jari di keningnya sambil mondar-mandir: “Ternyata geblek, ya…”.
Maklumlah kaum proletar, ya, begitulah tingkah mereka. Selain itu ada satu tempat lain yang jadi favorit, yakni sudut-sudut pelataran gedung V dan anak-anak tangganya yang sering di jadikan jepretan foto kenangan yang boleh jadi masih disimpan sebagian siswa hingga warnanya usang.
Dari dalam gedung itu sering terdengar piano penyok. Tentunya orang mengira sedang ada latihan kur paduan suara. Namun bisa jadi ada latihan vocal dari para penggemar musik opa-opa tempo dulu hingga para penggemar musik heavy metal.
Sementara ada 2 tempat yang paling tidak populer, yaitu gedung perpustakaan dan ruang kelas saat dimana dosen mengajar, terutama bagi sebagian besar siswa yang menganggap bergaul memiliki bobot jauh lebih besar dari 6 SKS.
Nah, bagi kaum proletar yang banyak mewarnai kehidupan kampus saat itu berlaku hukum besi “sama rata, sama rasa”. Maksudnya tak lain, tidak ada kelas sosial yang lebih tinggi. Tidak ada kalangan yang memiliki belagak borju yang perlu dihormati dan mendapat ungguh-ungguh dari yang lain, bahkan melalui mereka seorang artis atau terkenal.
Maklumlah sederet artis kondang pernah kuliah di tempat ini, termasuk juga yang sayang pejabat atawa perwira tinggi tak satupun mendapat previlage berlebih dalam pergaulan antar mahasiswa.
Ini yang menyebabkan pergaulan mudah menjadi cair dan guyub. Meskipun demikian, senior selalu senior tetap kudu dijunjung tinggi, seolah menjadi budaya tak tertulis dalam prasasti kampus.
Setelah itu tentunya tidak ada yang paling disukai dan juga dibenci selain rektor.
Beliau disukai karena dikenal penyayang oleh pelajar, meskipun dikenal sebagai pelajar yang bandel sekalipun.
Tidak sedikit “para berandal” ini yang pernah digiring dan digandeng rektor berjalan kaki sepanjang kampus layaknya sikap seorang kawan.
Kedua, Rektor mampu menjelaskan pengetahuan jurnalistik cukup dengan bahasa sederhana dan jauh dari rumit melalui kertas kuliah yang hingga kini jauh membekas dalam pikiran sebagian besar mahasiswanya.
Buat yang membencinya lebih disebabkan karena ia menjadikan yayasan kampus tercinta seolah-olah olah perusahaan keluarga. Selain itu juga emoh dengan aktivitas ekstra kulikuler siswa dan juga menolak sponsor.
Ini menjadikan aktivitas kegiatan mahasiswa menjadi steril dan mandul dibuatnya, seiring dengan NKK/BKK diterapkan ke seluruh kampus di penjuru negeri ini.
Lalu ke mana sekolah tinggi penulis itu?
Ini kan baru prolognya.
Kita tunggu lanjutannya di part 2. Salam.

 

Comments (0)
Add Comment