Kiprah Santri dan Ulama Mengawal Kemerdekaan RI

Surabaya Lahirkan Resolusi JIhad 1945

IKKELA.COM (22/10/2025) OPINI/CERITA

Sumber Cerita :
Kiai. Khabibul Muttaqin, SHI Pengasuh PP Nashihuddin Bandar Lampung

Al Fahrizal, mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari

Perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan bukanlah proses yang singkat, melainkan hasil dari perjuangan panjang, darah, air mata, dan doa. Dalam sejarah itu, santri dan ulama mempunyai posisi yang sangat penting. Mereka tidak hanya tampil sebagai guru spiritual dan pengajar ilmu agama, tetapi juga sebagai pejuang, penuntun moral, sekaligus penggerak rakyat dalam melawan penjajah. Dalam konteks peringatan HUT RI ke-80 dengan tema “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”, refleksi terhadap kiprah santri dan ulama semakin menemukan relevansinya. Mereka menjadi teladan bagaimana persatuan dan perdamaian dapat dicapai melalui keteguhan iman, keberanian, dan keikhlasan berkorban demi bangsa.

Sejak awal abad ke-20, pesantren menjadi basis perlawanan kultural dan ideologi terhadap kolonialisme. Ulama menyadari bahwa penjajahan bukan sekedar dominasi politik dan ekonomi, tetapi juga ancaman terhadap iman dan budaya bangsa. Oleh karena itu, semangat perjuangan tidak hanya dilandasi oleh nasionalisme, tetapi juga keyakinan keagamaan bahwa membela tanah air merupakan bagian dari iman. Dalam banyak kesempatan, ulama menegaskan kaidah hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman) sebagai semangat untuk menggerakkan santri dan rakyat.

Tokoh-tokoh ulama seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Wahid Hasyim, KH Zainul Arifin, KH Agus Salim, hingga Buya Hamka tampil bukan hanya sebagai pemimpin umat, tetapi juga pemimpin bangsa. Mereka menyatukan visi nasionalisme dan Islam dalam satu tarikan nafas perjuangan. Saat para tokoh bangsa merumuskan dasar negara, ulama pun hadir memberikan pandangan bijak agar Indonesia merdeka berdiri di atas fondasi persatuan. Di sini terlihat peran ulama yang tidak hanya mengawal kemerdekaan secara fisik, tetapi juga mengawal fondasi ideologis bangsa.

Puncak kiprah santri dan ulama dalam mengawal kemerdekaan terlihat pada peristiwa Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. KH Hasyim Asy’ari sepanjang bahwa melawan penjajah yang kembali ingin menguasai Indonesia setelah proklamasi adalah fardhu ‘ain bagi umat Islam. Seruan ini memantik semangat rakyat untuk mengangkat senjata, dan meletuslah pertempuran 10 November di Surabaya yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan. Tanpa peran ulama dan santri, mungkin perlawanan rakyat tidak akan seheroik itu. Pemecahan Jihad menjadi bukti bahwa santri tidak sekedar memasukkan ilmu ke dalam bilik pesantren, tetapi juga menjaga kelangsungan bangsa.

Tidak hanya di Jawa, di berbagai daerah santri dan ulama juga memainkan peran penting. Di Aceh, Teungku Chik di Tiro dan ulama-ulama Dayah menjadi motor perlawanan terhadap Belanda. Di Sulawesi, KH Ahmad Dahlan Mandar dan para ulama Bugis-Makassar memimpin perlawanan rakyat. Di Kalimantan, ulama Banjar ikut mengobarkan jihad melawan penjajah. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi ulama dan santri tersebar di seluruh nusantara, menjadikan pesantren sebagai pusat energi perjuangan yang menyatukan rakyat lintas etnis dan budaya.

Kini, delapan puluh tahun setelah proklamasi, bangsa Indonesia masih mengingat dengan penuh rasa syukur kiprah besar santri dan ulama itu. Namun, penghormatan terhadap jasa mereka tidak cukup hanya dengan mengenang sejarah, melainkan juga dengan meneruskan perjuangan sesuai dengan tantangan zaman. Jika dulu musuh bangsa adalah kolonialisme dan imperialisme, maka kini tantangan yang dihadapi berupa kemiskinan, kemiskinan, ketimpangan sosial, radikalisme, dan disrupsi digital. Dalam kerangka itulah tema HUT RI ke-80: Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju menemukan makna yang dalam.

Santri masa kini dituntut untuk mengembangkan kiprah yang lebih luas. Tidak hanya mengaji kitab di pesantren, tetapi juga menguasai ilmu pengetahuan modern, teknologi, ekonomi, hingga politik. Ulama pun perlu hadir sebagai penuntun akhlak yang meneguhkan akhlak bangsa di tengah derasnya arus globalisasi. Persatuan yang dulu menjadi modal utama melawan penjajah harus tetap dijaga untuk melawan ancaman disintegrasi. Kedaulatan yang dulu dipertaruhkan dengan senjata kini harus diwujudkan melalui kemandirian ekonomi, ketahanan pangan, dan penguasaan teknologi. Sejahtera yang dulu diimpikan dengan terbebasnya rakyat dari pemikiran, kini harus diwujudkan dengan pemerataan pembangunan dan keadilan sosial.

Perjalanan sejarah membuktikan bahwa tanpa peran ulama dan santri, bangsa ini mungkin kehilangan arah moral. Ulama adalah penjaga nurani bangsa. Ketika bangsa ini berada di persimpangan jalan, ulama hadir memberikan panduan agar tidak terjerumus pada perpecahan. Pada masa kemerdekaan, peran itu sangat nyata. Kini, peran yang sama tetap dibutuhkan agar Indonesia tidak terseret arus pragmatisme politik, korupsi, dan hedonisme yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa.

Momentum HUT RI ke-80 menjadi ajang refleksi bagaimana menempatkan kembali santri dan ulama sebagai bagian integral dari pembangunan nasional. Pemerintah perlu memberi ruang lebih besar bagi pesantren untuk berkembang sebagai pusat pendidikan yang melahirkan generasi yang tidak hanya alim dalam agama, tetapi juga mumpuni dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Santri harus diberi kesempatan menjadi bagian dari pemimpin bangsa, baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial. Dengan demikian, kiprah mereka mengawal kemerdekaan tidak berhenti di masa lalu, namun terus berlanjut di masa depan.

Di sisi lain, ulama perlu terus meneguhkan peran sebagai perekat persatuan. Dalam masyarakat yang maju, perbedaan sering kali berpotensi menimbulkan perpecahan. Ulama dengan wibawanya dapat menjembatani perbedaan itu dengan semangat toleransi dan ukhuwah. Nilai-nilai moderasi beragama yang diajarkan di pesantren sangat relevan untuk membangun Indonesia yang bersatu. Jika persatuan tetap terjaga, maka cita-cita berdaulat, sejahtera, dan maju akan lebih mudah terwujud.

Kiprah santri dan ulama juga sangat penting dalam menjaga demokrasi Indonesia. Demokrasi yang sehat bukan hanya soal mekanisme politik, tetapi juga soal etika dan moralitas. Ulama dapat menjadi suara penyeimbang, mengingatkan para pemimpin agar tidak berbohong pada kepentingan pribadi. Santri, dengan semangat kritisnya, dapat menjadi bagian dari gerakan masyarakat sipil yang memperjuangkan keadilan. Dengan demikian, cita-cita kemerdekaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan semakin nyata.

Refleksi delapan puluh tahun kemerdekaan mengajarkan kita bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan. Santri dan ulama adalah pahlawan dalam makna yang luas. Mereka tidak hanya mengangkat senjata, tetapi juga mengangkat doa, ilmu, dan moralitas untuk bangsa. Dalam konteks ini, santri dan ulama adalah penopang utama semangat kebangsaan. Tanpa mereka, kemerdekaan tidak akan pernah terwujud, dan tanpa mereka pula, kemerdekaan tidak akan pernah bermakna.

Kini, tugas generasi muda, termasuk para santri, adalah meneruskan estafet perjuangan itu. Mengawal kemerdekaan di era digital berarti berjuang melawan kegelapan dengan literasi, melawan hoaks dengan kebenaran, melawan intoleransi dengan toleransi, dan melawan ketertinggalan dengan inovasi. Ulama, dengan kebijaksanaannya, tetap menjadi rujukan moral yang menjaga bangsa ini agar tidak kehilangan arah. Bersama-sama, ulama, santri, dan seluruh elemen bangsa harus menjaga agar Indonesia tetap bersatu, berdaulat, sejahtera, dan maju.

Kita dapat menegaskan bahwa kiprah santri dan ulama dalam mengawal kemerdekaan RI adalah bagian dari identitas nasional yang tak terpisahkan. Mereka bukan hanya bagian dari sejarah, tapi juga bagian dari masa depan. Peringatan HUT RI ke-80 dengan tema Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju mengingatkan kita semua bahwa semangat perjuangan itu harus terus hidup dalam setiap langkah pembangunan bangsa. Kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, melainkan awal dari perjuangan panjang untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.

Dengan meneladani keberanian, keikhlasan, dan keteguhan santri dan ulama, kita bisa yakin bahwa Indonesia akan terus melangkah menuju masa depan yang lebih cerah. Bersatu adalah syarat, berdaulat adalah jalan, rakyat sejahtera adalah tujuan, dan Indonesia maju adalah cita-cita bersama. Semua itu hanya bisa terwujud jika kita terus menghidupkan semangat pengabdian santri dan ulama dalam setiap denyut nadi perjuangan bangsa.

Ketegangan di Surabaya, Lahirnya Resolusi Jihad

Kejadian berawal pada tanggal 16 September 1945 ketika beberapa pasukan Inggris didaratkan di pinggiran kota Surabaya. Pasukan ini kemudian bermakas di Hotel Yamato (sebeumnya bernama Hotel oranje). Keberadaan pasukan Inggris ini mendorong orang-orang Belanda yang tinggal di hotel ini melakukan provokasi karena merasa telah mendapatkan perlindungan dari pasukan Inggris.

“Orang-orang Belanda itu kemudian mengibarkan bendera mereka. Akibatnya muncul kemarahan dari penduduk Surabaya yang kemudian mengepung hotel yang saat itu menjaga pasukan Jepang. Tejadilah kejadian perkelahian antar orang-orang Belanda dan para pemuda Surabaya di muna puncak dari kejadian ini adalah dirobeknya warna biru dari bendera belanda sehingga bendera berubah menjadi bendera Indonesia, yaitu merah putih,” papar William H. Frederick dalam bukunya berjudul  Pandangan dan Gejolak, Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946).

Situasi yang semakin memanas tersebut, menyulut keresahan Presiden Soekarno. Ia kemudian mengutus orang untuk menghadap seorang Kiai terkemuka di Jawa Timur, yakni KH. Hasyim Asy’ari.

Presiden meminta Fatwa kepada Kiai Hasyim dengan data pertimbangan  Gunseikanbu,  bahwa Kiai Hasyim termasuk orang terkemuka di Jawa Timur.  Gunseikanbu  adalah Pemerintah Militer Jepang di Indonesia. Mereka menempatkan KH. Hasyim Asy’ari sebagai tokoh terkemuka di Jawa.

Tertulis dalam Gunseikanbu berjudul  Orang Terkemuka di Jawa,  yang diterbitkan Gadjah Mada University Press tahun 1986, di sana tertulis  “tani dan goeroe agama Teboeireng (Kab. Djombang), lahir pada 20-4-2535 Gedang Kab. Djombang, mengadji di Mekkah, 2556 goeroe di Mekkah, 2563-2566 goeroe Kemoening, (Kab Kediri), 2566-sekarang. Karangan Adaboel ‘Alim wa Moeta-allim, At-Tanbihat (2698). 2585-2602 ket. Peng. Besar Nahdlatoel Oelama tas.

Soekarno melalui utusannya bertanya kepada KH. Hasyim Asy’ari, “Apakah hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah, membela Islam atau membela Al-Qur’an. Sekali lagi membela tanah air?.”

Sehubungan dengan pertanyaan presiden Soekarno tersebut, lahirlah fatwa jihad yang ditulis langsung oleh KH. Hasyim Asy’ari.

Fatwa tesebut berbunyi: (1) hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan kita sekarang ini adalah  fardlu ‘ain  bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin meskipun bagi orang fakir; (2) hukumnya bagi orang yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotan-komplotannya adalah mati syahid; (3) hukumnya orang yang menyatukan persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh.

Fatwa tersebut kemudian dibahas dan dikukuhkan dalam sebuah forum rapat yang dihadiri seluruh konsul organisasi Nahdlotul Ulama (NU) se-Jawa Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Jalan Bubutan, Surabaya. Hasil pertemuan para kiai tersebut, melahirkan sebuah resolusi yang mampu membakar semangat masyarakat untuk turun, dan berhasil mengusir sekutu dan komplotannya. Fatwa tersebut oleh para kiai dan ulama yang berkumpul saat itu, ditetapkan sebagai resolusi jihad.

Zainul Milal Bizawie dalam bukunya  Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949)  menceritakan situasi Surabaya dan sekitarnya pasca tercetusnya fatwa maupun resolusi jihad, bayang-bayang ketegangan dan sesekali baku tembak antara para pejuang dengan pihak Inggris.

“Himbauan para, kyai bahwa perjuangan membela kemerdekaan Republik adalah sebagai bentuk dari jihad, perang suci begitu efektif untuk membakar semangat juang mereka. Berjuang melawan Inggris dan Belanda tidak sekedar dimaknai sebagai perjuangan untuk membela kemerdekaan semata, namun merupakan salah satu cara dan tindakan untuk membela agama Allah,” simpulnya.

Kemenangan Indonesia atas pasukan sekutu pada pertempuran bersejarah di Surabaya 10 November 1945 lalu, merupakan representasi hasrat menjadi bangsa yang mardeka. Sejarah tersebut kerap kali hanya ditulis dari sudut pandang elit penguasa. Peran-peran dari kalangan kyai dan pesantren sering dikesampingkan. Padahal peran mereka dalam merebut kemerdekaan bangsa ini sangat besar dan berpengaruh terhadap masyarakat, dan sejarah tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja.

Comments (0)
Add Comment