Sekolah Tinggi Penulis – Bagian Dua

Oleh : Maink

IKKELA.COM 22 OKTOBER 2025/CERPEN/OPINI

Boleh Dibilang banyak mahasiswa di kampus tercinta sebelumnya sudah dipenuhi oleh banyak penulis. Sebagian lainnya hidup dalam lingkungan kepenulisan. Entah itu ditularkan kepada orang tua atau saudaranya yang bekerja di media sebagai wartawan atau sedikitnya dikenal sebagai penulis sehingga banyak menginspirasi mereka dalam kegiatan menulis.

Tidak jarang ditemui pelajar yang pernah mengasah bakatnya dengan menulis di sejumlah media, baik di media internal seperti buletin organisasi atau institusi tertentu, hingga menulis di media cetak mainstream, seperti dari si Kuncung, Hai, Gadis, Femina, Kartini atau menulis berita di koran atau majalah musik seperti majalah Aktuil dan Prambors, bahkan di antaranya sebelum mereka sekolah di kampus.

Jadi tidak sedikit penulis dari kampus yang sudah banyak berkiprah di berbagai media massa di era “Guttenberg” masih berjaya yang ditandai dengan meningkatnya literasi, inovasi teknologi cetak yang lebih baik, dan munculnya berbagai jenis media cetak yang menargetkan audiens spesifik, seperti majalah mode, gaya hidup pria, dan wanita.

Berapa perpustakan, seperti Goethe, perpustakaan British Council dan pusat Kebudayaan Prancis (biasanya untuk menonton film-film Prancis) tidak jarang disambangi anak-anak kampus saat itu. Termasuk nongkrong atau bertandang ke Dewan Kesenian Jakarta di Cikini atau Pasar Seni Ancol serta pusat perfilman Usmar Ismail.

Namun sayangnya lambat laun mulai ditinggalkan pelajar baru di kampus di era pesatnya perkembangan teknologi informasi dan digitalisasi.

Selain itu ditemui sebagian mahasiswa lainnya sudah lebih dulu bekerja di berbagai perusahaan sambil kuliah. Tujuannya untuk mendapatkan gelar Bachelor of Art (BA) atau dokterandus (drs) agar dapat mendukung perekonomian menjadi lebih baik lagi. Sementara sebagian lainnya, bekerja di media arus utama, seperti radio dan surat kabar.

Selain bermusik atau ngeband yang umumnya dijumpai orang-orang muda yang mempengaruhi masa andolensnya, saat itu boleh disebut kegiatan berkesenian seperti berteater, menulis dan membaca puisi serta kelompok diskusi yang banyak bermunculan di kampus. Salah satunya dengan dikenalnya nama Jaid, yang sebelum masuk kampus, sudah lebih dulu menekuni teater di Palembang, kemudian bergabung di Bengkel Teater WS Rendra. Meskipun tidak sedikit pula anak-anak kampus yang menulis puisi maupun cerpen di berapa media massa cetak saat itu.

Secara ideal, seorang penulis bertindak sebagai pembuat opini dengan mengeluarkan ide yang lebih cemerlang kemudian dituangkan dalam sebuah tulisan yang ringkas, dengan sejumlah data dan fakta yang valid, serta dibalut oleh sebuah solusi yang benar atau mampu memberikan opsi dan gagasan yang tepat sebagai wadah pendidikan, sehingga mampu menginspirasi serta membangun kesadaran kolektif di tengah-tengah masyarakat.

Dari sini muncul ideologi dalam menulis, baik ideologi kiri seperti di masa Lekra, maupun ideologi kanan di antara sesama penulis di masa pergulatan Manivesto Kebudayaan.

Adanya ideologi ini juga ikut mempengaruhi pemikiran mahasiswa. Baik yang dibesarkan oleh organisasi yang berpaham marhaenisme dan sosialisme yang sudah berkembang di era NKK/BKK saat diberlakukan rezim orde baru dan semakin marak dengan kemunculan PRD ke dalam kelompok diskusi mahasiswa. Juga ideologi keagamaan dari kelompok rois di kampus.

Peran ideologi ini juga melahirkan gelombang aksi. Terlihat dari terjadinya kerusuhan mahasiswa dengan membidik rektor (IISIP saat itu) sebagai sasaran antara yang bertujuan untuk melapangkan jalan masuknya pengurus SPS dalam mengambil alih pengelolaan kampus yang membuat kampus terpecah menjadi dua kubu.

Selanjutnya diikuti munculnya aksi demonstrasi tahun 1988. Tercatat kampus termasuk salah satu perguruan tinggi swasta yang dianggap paling radikal dan termasuk pelopor Gerakan demonstrasi di Jakarta tahun 1988.

Selain itu boleh dibilang nama besar penulis-penulis di kampus pada masanya tidak pelit dalam membagikan ilmunya kepada sesama mahasiswa lainnya di bidang menulis. Termasuk teman-teman mahasiswa yang berprofesi di dunia hiburan, musik dan penyiar radio pada saat itu, seperti penyiar radio Prambors, radio Dharmawangsa dan radio Suara Kejayayaan yang sebagian sosok penyiarnya berasal dari anak kampus.

Ketika novel pop “Ali Topan Anak Jalanan” yang ditulis Teguh Esha sempat booming dan ikut mempengaruhi sikap dan perilaku anak muda pada jamannya. Penulisnya sendiri sempat juga diajak “nongkrong” di kampus. (Entah diajak Boedi Jarot atau oleh Haris Jauhari). Boleh jadi ini yang menyebabkan bahasa slank, prokem jadi demikian fasih digunakan oleh sebagian anak kampus saat bergaul di kampus.

Berapa kondisi inilah yang kemudian membentuk dunia kebatinan dan corak kampus menjadi lebih populis dan egaliter, baik dalam sosok penampilan mereka yang khas dan unik. Termasuk saat menyampaikan gagasan dan pemikiran mereka saat memandang denyut perkembangan kebudayaan dan entitas kultural.

Hal ini membentuk budaya, norma dan nilai tersendiri yang ikut mewarnai kehidupan mahasiswanya, baik dalam corak penampilan, sikap dan pandangan hidupnya saat dinternalisasi ke bentuk relasi sosial di dalam pergaulan kampus.

Selain ditunjang dengan banyaknya mahasiswa di kampus yang sudah menulis di sejumlah media, munculnya nama Kamsul Hasan sebagai ketua PWI Jaya, Dian Tamimi sebagai news anchor di TVRI, diikuti Andi Noya di Metro TV ikut memuluskan jalan dan membangkitkan gairah anak kampus di dunia jurnalis, script writer dan produser, baik di media cetak maupun televisi setelah diluncurkan TV partikulir di awal dekade 90-an.

Berapa nama anak kampus juga pernah menjadi berapa komentator olah raga di televisi yang diikuti kemunculan kelompok jurnalistik Televisi di awal reformasi yang banyak diinisiasi berapa iluni kampus.

Kemampuan menulis juga mendukung kemunculan anak-anak kampus di event dunia, dan kiprah penggiat bisnis hiburan, seperti Mimi al Karim yang tentunya juga perlu didukung pubisitas media.

Juga ikut melahirkan praktisi periklanan (sebagai art Director atau copy writer) dan dunia kehumasan (PR) di era 90—an hingga awal milenium kedua.

Nilai kebersamaan yang ditemui dalam kehidupan kampus pada akhirnya juga membantu ikut para alumni kampus untuk saling guyup dan berbagi informasi saat bekerja di lapangan sesuai profesinya masing-masing. Terutama bagi mereka yang tengah berprofesi di media mainstream dan media online.

Filsafat sendiri, sebagai ibu dari ilmu pengetahuan lebih memandang kegiatan menulis sebagai olah berpikir dan berkomunikasi. Melalui tulisan yang disampaikan penulis, orang bisa melihat bagaimana cara seorang dalam mengolah pikiran dan menyampaikan gagasannya saat berkomunikasi. Dari situ penulis dapat merasakan pengalaman hidup dan memahami maknanya secara mendalam, sehingga mampu mendorongnya untuk memiliki kesadaran kritis yang mana hasilnya dapat menjadi kajian bagi generasi selanjutnya.

Maka ketika mendengar meredupnya pamor kampus saat ini akhirnya ikut menjadi mengumpulkan sebagian besar alumni yang masih peduli. Setidaknya ada 3 hal yang bisa disimpulkan: pertama, masalah manajemen dan kepemimpinan yang terjadi di internal Yayasan kampus tercinta, Kedua, ketatnya kompetisi bisnis di perguruan tinggi yang kudu ditunjang berbagai fasilitas teknologi seperti penguasaan IT, digitalisasi dan multi media

dan ketiga,

networking, terlihat dengan tidak munculnya kolaborasi dan sinergi positif antara pihak di internal kampus dengan para iluninya yang sebenarnya banyak berkiprah di arena berbagai industri dan di antaranya juga banyak menjadi praktisi komunikasi dan berbohong yang banyak dikenal masyarakat.

Quo vadis Kampus Tercinta?

(Maink) adalah M. Ismail Alif : Dosen di BSI, Sarjana Ilmu Komunikasi IISIP Jakarta, Magister Manajemen di Universitas Trisakti dan Magister Ilmu Komunikasi di Usahid. Jurnalis dan penulis Cerpen Hobi berpetualang ke seluruh penjuru Nusantara

Comments (0)
Add Comment